Dokumen GPN

Senin, 17 November 2008

Seminar Kepemudaan Dan Kebangsaan

DASAR PEMIKIRAN
Kepemimpinan bangsa seperti apakah yang sebenarnya dibutuhkan saat ini? Kita menghadapi dilema, kepemimpinan tradisional dianggap tidak demokratis, sedangkan kepemimpinan modern rendah legitimasi. Banyak pemimpin modern hasil proses demokrasi prosedural yang hanya didukung kurang dari setengah warga yang dipimpinnya. Mereka menjadi pemimpin yang rendah legitimasi nominal. Namun demikian, meskipun didukung mayoritas tidak ada jaminan bahwa mereka bisa menjadi pemimpin yang baik. Nyatanya, kita menyaksikan banyaknya pemimpin yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan dan manajerial yang pantas. Banyak di antara mereka yang rendah kapasitas, rendah mentalitas, dan rendah pula moralitas. Jika banyak masalah kronis dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa diselesaikan dengan baik, sebagian kesalahan sebenarnya bisa ditimpakan kepada para pemimpin yang tidak becus itu. Tetapi kesalahan lain adalah tanggung jawab masyarakat pemilih. Menurut teori elite, pemimpin adalah refleksi masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat saleh akan melahirkan pemimpin saleh. Sebaliknya pemimpin bejat adalah cermin perilaku buruk sebagian besar warga masyarakat. Dalam konteks demokrasi prosedural saat mana pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat, asumsi di atas menemukan pembenaran. Masyarakat baik pastilah akan memilih pemimpin baik. Masalahnya, bagaimana caranya memilih pemimpin yang baik? Khususnya ketika saat ini muncul gejala yang (menurut Rocky Gerung) populer disebut dealership? Praktik dealership adalah upaya memunculkan atau mempopulerkan calon pemimpin melalui publikasi hasil survey atau jajak pendapat. Politik dealer bekerja melalui lembaga-lembaga survey yang seolah-olah dapat meloloskan seseorang untuk memenangkan pilkada maupun pemilu. Dengan mekanisme ini, yang muncul bukanlah leadership tetapi dealership. Apa yang salah dalam praktik dealership melalui lembaga survei? Secara sederhana, jika ada pertanyaan tentang siapakah pemimpin yang paling populer, jawaban masyarakat akan tergantung pada jenis pertanyaan dan cara bertanya. Juga tergantung pada informasi apa yang diperoleh masyarakat dalam periode waktu tertentu. Itulah yang dimanfaatkan dalam politik dealer. Masyarakat terus diguyur informasi dengan kemasan ‘citra baik’ calon tertentu melalui iklan koran, TV, radio, baliho, poster, dan selebaran; kemudian mereka ditanya tentang siapakah yang paling populer dan pantas menjadi pemimpin. Masyarakat tergiring untuk memilih pemimpin palsu. Meskipun dukungan nominal sangat penting bagi legitimasi pemimpin, popularitas saja tidaklah cukup. Kompleksitas persoalan dan dinamika dalam politik pemerintahan menuntut adanya kapasitas dan mentalitas kepemimpinan (leadership) yang kuat bagi setiap pemimpin.
KEPEMIMPINAN KAUM MUDA 
Indonesia membutuhkan pemimpin dari kaum muda yang mampu merepresentasikan wajah baru kepemimpinan bangsa. Ini bukan tanpa alasan, karena kaum muda dapat dipastikan hanya memiliki masa depan dan nyaris tidak memiliki masa lalu. Dan ini sesuai dengan kebutuhan Indonesia kini dan ke depannya yang perlu mulai belajar melihat ke depan, dan tidak lagi berasyik-masyuk dengan tabiat yang suka melihat ke belakang. Kita harus segera maju ke kepan dan bukan berjalan ke masa lalu. Dan secara filosofisnya, masa depan itu adalah milik kaum muda. 
Kepemimpinan kaum muda tidak akan datang dengan sendirinya. Sejarah baru dengan kepemimpinan dari generasi baru tidak akan serta merta menjadi nyata tanpa ada persiapan dari generasi baru itu. Bahwa negeri ini mesti diperbaiki dengan semangat baru, orang-orang baru dengan vitalitas baru serta visi kepemimpinan yang benar-benar baru adalah harapan para perindu Indonesia jaya. 
Persiapan yang perlu dilakukan kaum muda saat ini diantaranya adalah bagaimana menyamakan persepsi tentang urgennya kepemimpinan kaum muda dalam menjawab kebutuhan bangsa ke depan. Urgensi kepemimpinan kaum muda yang disadari oleh pemikiran kolektif bahwa generasi pemimpin yang ada saat ini sudah berumur tua dan layak untuk diganti dengan generasi yang lebih muda. Inilah kesamaan persepsi yang diharapkan memacu para pemuda untuk bersungguh-sungguh mempersiapkan diri sebagai pemimpin dan mengambil kepemimpinan itu pada saatnya tiba. Jadi, cita-cita memimpin dari para pemuda benar-benar diharapkan ada di dalam dada mereka, baik secara individu maupun organisasi.
Segala alasan dan upaya di atas hendaknya mampu mengggerakkan elemen-elemen kaum muda bangsa untuk mempertemukan gerakannya yang teratur dengan kenyataan zaman yang nantinya pasti akan melakukan pergantian generasi. Harapannya, gerakan yang terorganisir dengan baik itu memang akan mampu bertemu pada titik dimana zaman juga ingin melakukan pergantian generasi karena umur generasi sebelumnya yang sudah berakhir. Jika ini terjadi, maka Indonesia baru dengan pemimpin dan generasi baru akan hadir di bumi pertiwi ini




KONFLIK POLITIK
Pertama kenyataan bahwa tidak semua yang terpilih dalam pilkada langsung adalah putra-putri terbaik yang dimiliki daerah bersangkutan. Masalah ini muncul karena tidak adanya calon independen, karena distorsi dalam seleksi di tingkat parpol (politik uang, intervensi dari DPP parpol, dsb.), atau karena faktor lain-lain (sosialisasi yang tidak memadai sehingga masyarakat "salah pilih", loyalitas buta pemilih yang mengabaikan pertimbangan rasionalitas, kecurangan yang sistematis, penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, dll.). 
Kedua, kenyataan mengenai rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di beberapa daerah dalam pilkada. Jumlah golput yang cukup banyak merupakan bukti kelelahan politik (political fatigue), kejenuhan, atau karena munculnya kesadaran kritis masyarakat di daerah terhadap pesta demokrasi lokal di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang akut. Ketiga, adalah faktor klaim. Di daerah masih terlihat jelas "garis-garis" pengelompokan sosial menurut tempat kelahiran, kekerabatan, suku, dan agama/ideologi. Eksklusivitas ini akan melahirkan klaim-klaim yang dapat merugikan kelompok lain. 
Keempat, tanpa adanya pengawasan kuat dari DPRD, civil society dan pemerintah pusat, kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih kurang memiliki moralitas dan self-control yang kuat cenderung akan menyalahgunakan kekuasaan. Oligarki baru di tingkat lokal akan lahir (atau menguat bila yang terpilih adalah pejabat-pejabat lama) dengan terpilihnya kepala daerah/wakil kepala daerah baru. 
Kelima, pilkada langsung akan menyisakan sakit hati kepada kelompok yang kalah atau tidak puas dalam pilkada. Untuk menghindari konflik dan resistensi seharusnya ketika menjabat si pemenang harus mampu merengkuh pihak yang kalah untuk bersama-sama membangun daerah. 
Keenam, kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih memperoleh mandat langsung dari rakyat untuk memerintah dan membangun daerah. Amanat rakyat tersebut jangan disia-siakan. Program-program pembangunan yang realistis dan penyusunan RAPBD yang berbasis pada pemecahan permasalahan lokal memerlukan kompetensi yang tinggi dari birokrasi lokal.